Senin, 20 Maret 2017

Polemik revisi UU KPK  dan Ketakutaan Anggota Dewan



Oleh: Yofiendi Indah Indainanto
Nyanyian mantan bendaharawan Partai Demokrat Nazarudin yang terlibat kasus korupsi Pembangunan Wisma Atlit Hambalang Bogor. Pada saat persidangan Nazar terus mengungkit adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam pengadaan mega Proyek E- KTP dengan dana sebesar Rp 5,9 triliyun di DPR RI yang kemudian ditindaklanjuti KPK. Dalam nyanyian yang didengarkan turut menyeret nama-nama besar seperti Anas Ubaningrum, Setia Novanto dan anggota DPR lainya, alhasil nama tersebut telah diperiksa KPK.   
Sidang perdana kasus mega proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP) senilai Rp 5,9 Triliyun tahun anggaran 2011-2013, dengan menghadirkan dua terdakwa, Sugiharto mantan Direktur Pengelola Informasi Admistrasi Kependudukan sekaligus sebagai pejabat pembuat komitmen dan Irman Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri pekan lalau oleh pengadilan Tipikor Jakarta. Ketua KPK Agus Raharjo mengungkapkan terdapat nama-nama besar yang terlibat dalam kasus ini. Pembacaan dakwaan jaksa penuntut KPK turut menyeret beberapa nama anggota DPR, Pimpinan DPR Pejabat di Kementrian Dalam Negeri termasuk mantan mentri Dalam Negeri Gumawan Fauzi dan Yosanna Loaly yang sekarang menjabat mentri Hukum dan HAM.
Banyakanya orang penting di negeri ini yang duga korupsi turut menyita perhatian dan membuktikan bahawa korupsi telah menggurita masuk dalam sendi-sendi kehidupan. akrapnya para politisi dengan korupsi tidak bisa dipisahkan, mengindikasi bahwa dunia politik paraktis sarat akan kepentingan individual dan kelompok bukan semata untuk kepentingan masyarakat. Anggota DPR dan Pejabat pemerintah yang memiliki wewenang dalam peroses penyelenggaraan negara, sejatinya mementingkan kepentingan rakyat justru terjebak manisnya dana haram dalam proses kebijakan.
Wakil rakyat yang seharusnya mementingkan kepentingan rakyat, kini lebih mengutamakan asap dapur kepentingan individu dan kelompok. Urusan rakyat tergadaikan dengan dealektika dan retorika membodohi.  Bayangkan sebuah kepercayaan yang masuk dalam inti sistem, mengendalikan sistem, mengelola sistem dan membuat sistem sendiri menghalakan segala cara untuk menghidupi sistem sebelumnya dalam sebuah kesepakatan politik (partai).
Banyaknya anggota DPR yang teindikasi terlibat dalam kasus mega proyek E-KTP memunculkan wacana lama yang di ungkit kembali, yaitu revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemberatasan korupsi oleh KPK nampakya mendapat batu terjal oleh anggota dewan. Ada inidikasi wacana revisi UU No 30 tahun 2002, bentuk melemahkan dan menghadang pengusutan mega proyek E-KTP. Wacana revisi UU KPK terus didengungkan dengan maraknya sosialisasi yang dilakukan di universitas seperti Univeristas Andalas, Univeristas Nasional. Kusus di Univeristas Sumatra Utara, sosialisasi mengalaim penolakan. Uniknya dalam sosialisasi yang dilakukan oleh Badan Keahlian Hukum DPR RI tidak diketahui oleh anggota DPR RI komisi III DPRRI dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu kepada media. Tentu publik mengalami pertanyaan besar ada sarat muatan politik apa dalam sosialisasi ini.   
Ketakutan besar dalam ditubuh DPR tentang eksistensi KPK dalam memberantas korupsi terkusus di anggota DPR terus memuncak. Ada indikasi korelasi anggota DPR banyak yang tersandung dalam korupsi. Kekawatiran memuncak mana-kala revisi KPK benar terjadi, sehingga akan memunculkan masalah baru korupsi akan tidak terbendung. Peran KPK akan melemah, dampaknya KPK hanya sebuah lembangan negara yang menonton korupsi merajalela. Bukan cerita omong saat ini KPK tengah diuji taringnya dalam membokar kasus-kasus korupsi besar.
Pada tahun 2012 muncul naskah revisi UU KPK dari badan Legeslasi DPR. Dalam rancangan UU KPK disebutkan ada perubahan tentang kewenangan penuntutan tidak lagi ditanggung KPK, Penyadapan harus mendapatkan izin ketua pengadilan, kemudian KPK harus membentuk Dewan Pengawas. Setahun sebelumnya DPR menyampaikan 10 poin Revisi tentang fokus kerja KPK yang hanya mencakup pemberantasan korupsi, wewenang melakukan penyadapan, laporan penyelenggara Pemerintah, dan kewenangan penyitaan, penggeledahan, penertiban Sp3, serta perioritas kerja KPK hanya pencegahan korupsi.
Perilaku korupsi ditubuh anggota DPR tidak bisa disalahkan sepenuhnya oleh oknum anggota DPR. Masalah politik yang mahal yang menjerat anggota DPR membuat meraka terus bermanufer dalam menghidupi dapur partai. Di negara yang demokrasinya maju seperti Amerika, Politik dijadikan sebagai lahan untuk memperkenalkan diri dan ajang popularitas para penguasa, bukan untuk mencari kekayaan baik partai dan individu. Nampaknya kasus tersebut bebeda dengan di Indonesia, dinegara dengan politik praktis mendominasi di semua sektor, politik dijadikan alat untuk mencari kekayaan dengan berbagai cara. Kongkalikong menjadi budaya yang lajim dalam kepolitikan Indonesia.
Wajar saja dalam setiap pemilihan umum pastisipasi masyarakat sangat menurun. Harapan yang didapakan dari janji-janji kampanye hanya menimbulkan mimpi buruk di masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, ada yang salah dalam jiwa anggota DPR dan pejabat publik. Roh amanah hanya sebatas lidah terucap dan hilang terbawa anggin. Mungkin sudah seharunya sistem rekrutmen partai diperketat angar melahirkan wakil yang baik, bukan semata melihat karakter tokoh yang mampu menarik suara.
Bagaimana jadinya perilaku anggota DPRD disetiap daerah, mungkin akan lebih mengkhawatirkan keberadaannya. Melihat kasus yang terjadi di Sumatra Utara, yang menjerat mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho yang berkaitan dengan dana bantuan sosial yang juga melibatkan anggota DPRD. Hal ini membuktikan bahwa korupsi di lembaga negara seperti sebuah polarisasi yang terus bergerak hingga masalahnya tidak kunjung selesai. Lagi mahar politik menimbulkan perilaku korup di tubuh pejabat negara. Lalu, pertanyaan muncul apakah sepenuhnya menyalahkan oknum?, Jika terus menyalahkan oknum merupakan sebuah kesalahan besar. Pasalnya oknum adalah korban dari sebuah sistem politik peraktis yang sangat mahal di Indonesia. kewajiban menyetor dana ketubuh partai menjadi akar yang tidak terselesaikan. Dari mana partai mendapatkan dana untuk menghidupi organisasi?, tentu dari sebuah mahar politik dari anggotanya. Mungkin saja saat ini para oknum anggota dan pejabat sedang terikat dalam sebuah kesepakatan politik. Demokrasi sejatinya sebuah senjata yang ampuh dalam membangun sebuah bangsa, jika para oknum yang terlibat didalanya mengerti tentang sebuah konsep kehidupan berdemokrasi.
KPK sebagai ujung tombak perlawana terhadap korupsi, seharunya diberikan kebebasan dalam memberantas korupsi, bukan dilemahkan. Pelemahan KPK akan menimbukan perilaku tidak terkontrol dalam masyarakat, dampak yang akan ditimbulakn akan seperti sebuah bom waktu kapan saja bisa meledak dan menghancurkannya. Mungkin saat ini pejabat negara telah gagal dan tergoda manisnya dana korupsi, namun bisa jadi bayangan ketakutan hukuman terus menghantui para pejabat.tulisan pertama kali terbit di harian Orbit edisi Jumat (21/3/17).

Salam perintis : bagaimana jadinya korupsi itu menjadi budaya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar