Ancaman Ketimpangan sosial
Oleh: Yofiendi Indah Indainanto
Petumbuhan sejatinya memiliki
dampang perubahhan mendasar dalam masyarakat sebagai aktor penggerak kemajuan.
Apa jadinya pertumbuhan, pembangunan
infrastruktur, sosial dan ekomomi tidak berpihak pada masyarakat sekitarnya,
bisa jadi itu mengguntungkan segelintir kelompok?. Banyak pembangunan tidak
memperhatikan lingkungan, masyarakat sekitar pembangunan hanya menjadi boneka
usang pelengkap hiyasan. Fenomena ini menimbulkan ketimpangan antara masyarakat
kelas bawah, menengah dan atas yang akan menyebapkan konflik sosial, buah dari
sikap kecemburuan dan diskriminasi.
Setiap kemampuan seseorang
memiliki perbedaan mendasar hal ini bisa ditentukan dari banyak faktor bisa
pendidikan dan keahlian. Kesenjangan pendapatan masyarakat baik yang berlokasi
di pusat kota (urban), atau pinggiran kota (sub urban) menimbulkan permasalahan
tentang pendapatan dan pemerataan pembanggunan. Setiap wilayah tidak bisa
disamakan secara pendapatan dan perlakuan, karena masing-masing memiliki tolak
ukur. Minimnya lapangan pekerjaan dan kemampuan yang dimiliki seseorang
menimbulkan permasalahan serius seperti, pengangguran terbuka dan Kemiskinan
akan mewarnai kehidupan masyarakat tak terkecuali Medan.
Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Sumatera Utara (Sumut) merilis data jumlah penduduk miskin. Angka
jumlah kemiskinan di Sumut periode Maret-September 2016 mencapai 1.452.550 atau
10,27 persen. Jumlah tersebut turun 0,08 persen dibanding periode periode yang
sama 2015 yang berjumlah 1.455.950 orang atau 10,35 persen. Artinya jumlah
orang miskin di provinsi ini berkurang sebanyak 3.400 orang (0.08 persen) dari
total keseluruhan penduduk Sumut yang mencapai kurang lebih mencapai 14 juta
jiwa (data BPS 2015). Kesuksesan pemerintah provinsi (Pemprov) dalam
mengurangi angka kemiskinan ini tidak terlepas dari membaiknya perekonomian
regional. Namun banyak kemampuan daya serap pasar tehadap pekerjaan di nilai
masih lemah.
Lonjakan permintaan tenangaa
kerja terdidik, dengan terbatasnya lapangan pekerjaan akibat daya serap pasar
dalam menerima pekerjaan tidak sebanding dengan kemapuan memberikan upah yang
sesuai, memberikan peningkatan pengangguran terbuka di kota besar seperti
Medan. Pertumbuhan sektor rill di kota
Medan yang tidak berkembang secara signifikan menimbulkan gejolak ekonomi di
masyarakat. Data BPS menunjukkan angka
pengangguran terbuka di Kota Medan saat ini berkisar 13% dan di atas rata-rata
kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini bisa saja terus bertambah
dengan adanya perdagangan terbukan yang terus menyasar sektor strategis di
Medan.
Masalah kemiskinan menjadi
masalah yang akan timbul setelah pengangguran terjadi. Tingkat daya saing yang
rendah di sektor terampil membuat kemiskinan akrab dengan Medan. Meski anggkat
kemiskinan setiap tahunya mengalami penurunan, hal itu tidak sebanding dengan
pertumbuhan ekomomi di Kota Medan dengan banyak sektor. Saat ini, terdapat terdapat 6,63 % penduduk miskin di Kota Medan
yang perlu penanganan khusus melalui program pembangunan yang berpihak kepada
masyarakat miskin. Apabila dikaitkan dengan target RPJM 2006 dan 2010
seharusnya angka pengangguran di Kota Medan sudah berada di bawah 10 % dan
angka kemiskinan di bawah 5 %. Mungkin
pembanguan yang terjadi di Medan hanya mengarah pada kepentingan ekonomi yang
mengguntungkan kepentingan kapitalis penguasa dan pembangunan tidak akrab
dengan pemberatasan kemiskinan.
Berdasarkan versi Badan Pusat
Statistik (BPS), standarisasi atau kategori seseorang dikatakan miskin adalah
mereka yang pendapatan perkapitanya kurang dari Rp 413.835 per bulan (untuk
wilayah perkotaan) dan perdesaan sebesar Rp 388.707 per kapita per bulan.
Artinya, mereka yang penghasilannya tidak sampai Rp13.000/per hari adalah masuk
kategori penduduk miskin. Realitanya, angka kemiskinan tersebut diperkirakan
jauh lebih besar dari data BPS. Dengan kondisi seperti itu, kemiskinan menjadi
sebuah ancaman kemanusian yang suatu saat seperti bom waktu yang mengganggu
kesetabilan keamanan.
Data tersebut belum termasuk
gelandangan dan pengemis. Berdasarkan data Dinas Sosial Sumut tahun 2009, di
provinsi ini, setidaknya tercatat jumlah pengemis dan gelandangan mencapai
7.813 jiwa. Untuk gelandangan, terdiri dari 4.373 dan pengemis 3.440 orang.
Mengingat keadaan serba sulit seperti sekarang ini, diperkirakan jumlah
tersebut telah meningkat telah berkali-kali lipat di tahun 2017. Meski angka
tesebut tidak menggambarkan pasti jumah gelandangan dan pengemis di Kota Medan,
namun setidaknya dengan maraknya gelandangan dan pengemis di Kota Medan,
menimbulkan keresahan dan ketidaknyamana masyarakat. Kebanyakan dari pengakuan para gelandang dan pengemis
yang ditangkap Dinas Sosial Medan, mereka iyalah orang mampu yang datang dari
luar kota. Saat dikampung menunggu panen, jelas tidak ada pengghasilan lebih,
mereka pergi ke Medan untuk mengemis dan mendapatkan uang tambahan.
Timbulnya masalah lain di Kota
Medan muncul dari masalah pedagan kaki lima. Dari tahun-ketahun masalah ini
selau muncul, jumlah pedanganya pun semakin meningkat meski angka pastinnya
tidak diketahui. Banyaknya pedagang kaki lima di Kota Medan menimbulkan
permasalahan lama yang tidak kunjung selesai. Kesan kumuh dan tidak teratur
menjadi pemandangan sehari-hari di sudut-sudut kota Medan. Banyaknya penertipan
yang dilakukan Pemerintah Kota, tidak menimbulkan efek jera meski barang
daganganya sering disita oleh petugas. Permasalahan itu, seperti sebuah pipa yang bocor mau menembelnya dengan posisi air sedang
hidup, suit dan rumit, tapi kalau dimatikan akar masalahnya pasti penembelan
berjalan dengan baik.
Pemasalahan pedangan kaki lima memiliki banyak faktor
penyebap, diantaranya, lambatnya peremajaan pasar-pasar tradisional sebagai
pusat ekomomi masyarakat. Terlambatnya pembangunan pasar induk sebagai pusat
distribusi. kemudian, akibat adanya pusat aktifitas bisnis, perkantoran, rumah
sakit. Permasalaha itu belum lagi, ketika daya beli masyarakat menurun, banyak
para pedangan tidak mampu membayar uang sewa kios sehingga memilih jalan
singkat berjualan di trotoar jalan. Dampaknya pedangang kaki lima yang awalnya
seperti jamur di musim hujan, berubah menjadi benalu yang merugikan orang.
Permasalahan ketimpangan diatas
akan mengrucut pada satu tindakan yang membahayakan masyarakat yaitu tumbuhnya
angka kriminalitas. Permasalahan ini selalu muncul di kota-kota besar. Medan
sebagai salah satu pusat ekonomi yang menggerakan ekonomi kota disekelilingnya
rentan akan tindakan kriminalitas. Keriminalitas buah dari rasa frustasi dari
masyarakat dengan sulitnya mencari pendapatan ditengah biaya hidup yang kian
mahal.
Pembiaran yang dilakukan akan
menimbulkan beban dimasyarakat. Ini berarti pemerintah harus mengatur strategi
dalam memberantas ketimpangan. Menjadikan masyarakat mandiri dari segi
kewirausahaan dengan berbagai kemudan, nampaknya patut digalangkan dengan
konsisten yang terus mengikat. Pemberian simpan pijam modal usaha dan UKM patut
di Intensipkan dengan target sasaran yang jelas tidak hanya mementingkan
pemberantasan kemiskinan, melainkan melihat aspek kemandirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar