Sabtu, 18 Maret 2017




Ancaman Ketimpangan sosial
Oleh: Yofiendi Indah Indainanto
Petumbuhan sejatinya memiliki dampang perubahhan mendasar dalam masyarakat sebagai aktor penggerak kemajuan. Apa jadinya pertumbuhan,  pembangunan infrastruktur, sosial dan ekomomi tidak berpihak pada masyarakat sekitarnya, bisa jadi itu mengguntungkan segelintir kelompok?. Banyak pembangunan tidak memperhatikan lingkungan, masyarakat sekitar pembangunan hanya menjadi boneka usang pelengkap hiyasan. Fenomena ini menimbulkan ketimpangan antara masyarakat kelas bawah, menengah dan atas yang akan menyebapkan konflik sosial, buah dari sikap kecemburuan dan diskriminasi.
Setiap kemampuan seseorang memiliki perbedaan mendasar hal ini bisa ditentukan dari banyak faktor bisa pendidikan dan keahlian. Kesenjangan pendapatan masyarakat baik yang berlokasi di pusat kota (urban), atau pinggiran kota (sub urban) menimbulkan permasalahan tentang pendapatan dan pemerataan pembanggunan. Setiap wilayah tidak bisa disamakan secara pendapatan dan perlakuan, karena masing-masing memiliki tolak ukur. Minimnya lapangan pekerjaan dan kemampuan yang dimiliki seseorang menimbulkan permasalahan serius seperti, pengangguran terbuka dan Kemiskinan akan mewarnai kehidupan masyarakat tak terkecuali Medan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) merilis data jumlah penduduk miskin. Angka jumlah kemiskinan di Sumut periode Maret-September 2016 mencapai 1.452.550 atau 10,27 persen. Jumlah tersebut turun 0,08 persen dibanding periode periode yang sama 2015 yang berjumlah 1.455.950 orang atau 10,35 persen. Artinya jumlah orang miskin di provinsi ini berkurang sebanyak 3.400 orang (0.08 persen) dari total keseluruhan penduduk Sumut yang mencapai kurang lebih mencapai 14 juta jiwa (data BPS 2015). Kesuk­sesan pemerintah provinsi (Pemprov) dalam mengurangi angka kemiskinan ini tidak terlepas dari membaik­nya perekonomian regional. Namun banyak kemampuan daya serap pasar tehadap pekerjaan di nilai masih lemah.
Lonjakan permintaan tenangaa kerja terdidik, dengan terbatasnya lapangan pekerjaan akibat daya serap pasar dalam menerima pekerjaan tidak sebanding dengan kemapuan memberikan upah yang sesuai, memberikan peningkatan pengangguran terbuka di kota besar seperti Medan. Pertumbuhan sektor  rill di kota Medan yang tidak berkembang secara signifikan menimbulkan gejolak ekonomi di masyarakat.  Data BPS menunjukkan angka pengangguran terbuka di Kota Medan saat ini berkisar 13% dan di atas rata-rata kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini bisa saja terus bertambah dengan adanya perdagangan terbukan yang terus menyasar sektor strategis di Medan.
Masalah kemiskinan menjadi masalah yang akan timbul setelah pengangguran terjadi. Tingkat daya saing yang rendah di sektor terampil membuat kemiskinan akrab dengan Medan. Meski anggkat kemiskinan setiap tahunya mengalami penurunan, hal itu tidak sebanding dengan pertumbuhan ekomomi di Kota Medan dengan banyak sektor. Saat ini, terdapat  terdapat 6,63 % penduduk miskin di Kota Medan yang perlu penanganan khusus melalui program pembangunan yang berpihak kepada masyarakat miskin. Apabila dikaitkan dengan target RPJM 2006 dan 2010 seharusnya angka pengangguran di Kota Medan sudah berada di bawah 10 % dan angka kemiskinan di bawah 5 %.  Mungkin pembanguan yang terjadi di Medan hanya mengarah pada kepentingan ekonomi yang mengguntungkan kepentingan kapitalis penguasa dan pembangunan tidak akrab dengan pemberatasan kemiskinan.
Berdasarkan versi Badan Pusat Statistik (BPS), standari­sasi atau kategori seseorang dikatakan miskin adalah mereka yang penda­patan perkapitanya kurang dari Rp 413.835 per bulan (untuk wilayah perkotaan) dan perdesaan sebesar Rp 388.707 per kapita per bulan. Artinya, mereka yang penghasilannya tidak sampai Rp13.000/per hari adalah masuk kategori pendu­duk miskin. Realitanya, angka kemiski­nan terse­but diperkirakan jauh lebih besar dari data BPS. Dengan kondisi seperti itu, kemiskinan menjadi sebuah ancaman kemanusian yang suatu saat seperti bom waktu yang mengganggu kesetabilan keamanan.
Data tersebut belum termasuk gelandangan dan pengemis. Berdasarkan data Dinas Sosial Sumut tahun 2009, di provinsi ini, setidaknya tercatat jumlah pengemis dan gelandangan mencapai 7.813 jiwa. Untuk gelandangan, terdiri dari 4.373 dan pengemis 3.440 orang. Mengingat keadaan serba sulit seperti sekarang ini, diperkirakan jumlah tersebut telah meningkat telah ber­kali-kali lipat di tahun 2017. Meski angka tesebut tidak menggambarkan pasti jumah gelandangan dan pengemis di Kota Medan, namun setidaknya dengan maraknya gelandangan dan pengemis di Kota Medan, menimbulkan keresahan dan ketidaknyamana masyarakat. Kebanyakan  dari pengakuan para gelandang dan pengemis yang ditangkap Dinas Sosial Medan, mereka iyalah orang mampu yang datang dari luar kota. Saat dikampung menunggu panen, jelas tidak ada pengghasilan lebih, mereka pergi ke Medan untuk mengemis dan mendapatkan uang tambahan.  
Timbulnya masalah lain di Kota Medan muncul dari masalah pedagan kaki lima. Dari tahun-ketahun masalah ini selau muncul, jumlah pedanganya pun semakin meningkat meski angka pastinnya tidak diketahui. Banyaknya pedagang kaki lima di Kota Medan menimbulkan permasalahan lama yang tidak kunjung selesai. Kesan kumuh dan tidak teratur menjadi pemandangan sehari-hari di sudut-sudut kota Medan. Banyaknya penertipan yang dilakukan Pemerintah Kota, tidak menimbulkan efek jera meski barang daganganya sering disita oleh petugas. Permasalahan itu, seperti  sebuah pipa yang bocor  mau menembelnya dengan posisi air sedang hidup, suit dan rumit, tapi kalau dimatikan akar masalahnya pasti penembelan berjalan dengan baik.
Pemasalahan  pedangan kaki lima memiliki banyak faktor penyebap, diantaranya, lambatnya peremajaan pasar-pasar tradisional sebagai pusat ekomomi masyarakat. Terlambatnya pembangunan pasar induk sebagai pusat distribusi. kemudian, akibat adanya pusat aktifitas bisnis, perkantoran, rumah sakit. Permasalaha itu belum lagi, ketika daya beli masyarakat menurun, banyak para pedangan tidak mampu membayar uang sewa kios sehingga memilih jalan singkat berjualan di trotoar jalan. Dampaknya pedangang kaki lima yang awalnya seperti jamur di musim hujan, berubah menjadi benalu yang merugikan orang.
Permasalahan ketimpangan diatas akan mengrucut pada satu tindakan yang membahayakan masyarakat yaitu tumbuhnya angka kriminalitas. Permasalahan ini selalu muncul di kota-kota besar. Medan sebagai salah satu pusat ekonomi yang menggerakan ekonomi kota disekelilingnya rentan akan tindakan kriminalitas. Keriminalitas buah dari rasa frustasi dari masyarakat dengan sulitnya mencari pendapatan ditengah biaya hidup yang kian mahal.

Pembiaran yang dilakukan akan menimbulkan beban dimasyarakat. Ini berarti pemerintah harus mengatur strategi dalam memberantas ketimpangan. Menjadikan masyarakat mandiri dari segi kewirausahaan dengan berbagai kemudan, nampaknya patut digalangkan dengan konsisten yang terus mengikat. Pemberian simpan pijam modal usaha dan UKM patut di Intensipkan dengan target sasaran yang jelas tidak hanya mementingkan pemberantasan kemiskinan, melainkan melihat aspek kemandirian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar